Muara Enim, Poskita.id – Jalan nasional lintas Sumatera seharusnya menjadi bukti paling nyata kehadiran negara: kuat, aman, dan melindungi warganya. Namun di ruas Muara Enim–OKU–Lahat, negara justru terasa absen. Aspal terkelupas, lubang menganga, dan permukaan jalan yang tak rata menjadi pemandangan sehari-hari—bahkan di ruas yang baru saja diperbaiki dengan anggaran negara.
Kerusakan itu bukan sekadar soal teknis. Ia mencerminkan persoalan yang jauh lebih dalam: kegagalan kebijakan, lemahnya pengawasan, dan kuatnya tarik-menarik kepentingan di balik lalu lintas angkutan batu bara.
Ironi paling telanjang terlihat pada kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang melarang angkutan batu bara menggunakan jalan raya mulai Januari 2026. Kebijakan itu terdengar tegas di atas kertas. Namun di lapangan, truk-truk batu bara tetap melintas tanpa rasa bersalah, seolah aturan hanyalah formalitas administratif.
“Kalau malam atau hujan, lubangnya tidak kelihatan. Sudah sering motor jatuh,” ujar seorang warga di sepanjang jalan nasional wilayah Muara Enim.
Keluhan serupa datang dari Kabupaten Lahat. Di daerah ini, jalan nasional seolah kehilangan statusnya sebagai fasilitas publik. Ia diperlakukan layaknya jalur industri, dipaksa menanggung beban truk-truk bermuatan berat yang melintas siang dan malam.
Situasi inilah yang memantik kritik keras dari Nathan, Ketua Organisasi Masyarakat Pendukung Gibran (MPG) DPW SUMATERA SELATAN. Setelah menerima banyak laporan warga, Nathan turun langsung ke lapangan dan menyebut kondisi jalan sudah masuk kategori membahayakan keselamatan publik.
“Jalan ini belum lama diperbaiki, tapi sudah rusak lagi. Ini bukan kerusakan wajar. Ini bukti ada yang salah dalam pengelolaannya,” ujar Nathan, Rabu (31/12/2025).
Menurut Nathan, kerusakan jalan di Kabupaten Lahat tidak bisa dilepaskan dari pembiaran angkutan batu bara di jalan nasional. Selama truk bermuatan berat terus diberi ruang, perbaikan jalan hanyalah pekerjaan sia-sia yang berulang.
“Selama batu bara masih lewat jalan raya, jangan harap jalan bisa bertahan. Yang rusak bukan cuma aspal, tapi keselamatan warga,” tegasnya.
Nathan lalu menyoroti persoalan yang lebih sensitif: keberadaan jalan hauling batu bara, khususnya jalur LBA dan ALR. Jalan hauling yang sejak awal dijanjikan sebagai solusi justru dinilai tidak efektif dan sarat dengan politik kepentingan.
“Jalan hauling LBA dan ALR ini selalu disebut sebagai solusi. Tapi faktanya, truk batu bara tetap lewat jalan umum. Ini patut dipertanyakan: apakah jalan hauling benar-benar dirancang untuk kepentingan publik, atau hanya untuk kepentingan tertentu?” ujar Nathan.
Menurutnya, jalan hauling telah berubah menjadi simbol kompromi antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Ketika kepentingan itu berbenturan dengan keselamatan rakyat, yang dikorbankan selalu masyarakat.







