oleh :
Nabillah Ananda Alpatiha, S.Sos
Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Binadarma Palembang
Prof. Isnawijayani, M.Si., Ph.D.
Guru Besar Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Darma
Dalam ruang politik yang sering didominasi laki-laki, hadirnya Ir. Romiana Hidayati Sumadi yang akrab di sapa Bunda Omi di DPRD Provinsi Sumatera Selatan memberi warna berbeda. Ia tidak hanya hadir sebagai simbol keterwakilan perempuan, tetapi juga menghadirkan gaya komunikasi politik yang memadukan kelembutan, empati, dan ketegasan.
Sebagai legislator, Bunda Omi dikenal aktif turun ke masyarakat, mendengarkan langsung aspirasi warga, dan menindaklanjutinya dalam forum legislatif. Pendekatan ini menunjukkan gaya komunikasi dialogis dan humanis, yang menempatkan masyarakat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan mitra dalam proses politik.
Dalam teori komunikasi politik McNair (2011), efektivitas komunikasi politik bergantung pada ethos dan pathos—karakter komunikator dan daya sentuh emosional pesannya. Bunda Omi berhasil menggabungkan keduanya. Ia membangun kepercayaan publik dengan karakter keibuan dan gaya tutur yang hangat, tanpa kehilangan wibawa sebagai pengambil keputusan.
Sebagai perempuan di parlemen, ia juga membawa gaya komunikasi yang khas: lebih kolaboratif, persuasif, dan solutif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suryani (2019) yang menyebutkan bahwa politisi perempuan cenderung mengedepankan kerja sama dan empati dibandingkan konfrontasi. Dalam rapat-rapat DPRD, Bunda Omi sering tampil sebagai penengah yang mampu menjaga suasana kondusif dan fokus pada kepentingan publik.







