Tuntutan Mahasiswa 17+8: Cermin Nurani Rakyat dalam Negara Hukum

Opini171 Dilihat

Oleh: Widodo,SH.

Praktisi Hukum

 

Gelombang aksi mahasiswa yang membawa tuntutan 17+8 kembali mengingatkan kita pada peran historis mahasiswa sebagai agent of change sekaligus moral force bangsa. Tuntutan tersebut lahir dari kegelisahan kolektif terhadap arah kebijakan negara yang dinilai semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial.

 

Dalam perspektif hukum dan demokrasi, ekspresi mahasiswa bukan sekadar fenomena jalanan, melainkan artikulasi konstitusional yang dijamin Pasal 28E UUD 1945. Oleh sebab itu, tuntutan 17+8 harus diposisikan sebagai instrumen koreksi sosial, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.

 

Jika ditelaah, 17+8 tuntutan mahasiswa memuat pokok-pokok isu strategis yang saling berkelindan, antara lain:

 

1. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.Kritik terhadap lemahnya independensi lembaga penegak hukum dan praktik mafia hukum.

2. Regulasi bermasalah,Penolakan terhadap undang-undang yang dianggap menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat, misalnya dalam bidang ketenagakerjaan atau pengelolaan sumber daya alam.

3. Perlindungan hak rakyat kecil.Seruan agar negara berpihak pada buruh, petani, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya.

4. Isu lingkungan dan keberlanjutan. Desakan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan yang berpotensi merusak ekosistem dan mengancam hak generasi mendatang.

5. Keadilan sosial dan demokrasi substantif.Dorongan agar negara tidak hanya formalistik dalam menjalankan demokrasi, melainkan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

 

Dari sudut pandang akademik hukum, tuntutan ini sejalan dengan cita hukum (rechtsidee) bangsa: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

 

Meski substansinya legitimate, tuntutan mahasiswa kerap dianggap abstrak oleh kalangan birokrasi. Di sinilah tantangan intelektualnya: bagaimana mahasiswa mengemas aspirasi ke dalam bentuk policy paper, legal draft, atau rekomendasi kebijakan yang konkret. Dengan demikian, tuntutan tidak berhenti sebagai slogan, melainkan masuk ke ruang legislasi dan implementasi hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *